Friday, July 14, 2006

UAN & INDUSTRIALISASI PENDIDIKAN

Tahun 2006 kali ini dunia pendidikan Indonesia diramaikan dengan adanya masalah Ujian Akhir Nasional (UAN), mulai dari proses penyelenggaran sampai kepada tahap akhir atau finishing. Pada tahap akhir inilah yang menuai pro kontra, dimana banyak terjadi keanehan – keanehan dalam soal kelulusan siswa, seperti ada seorang siswa yang dia memiliki prestasi bahkan diterima di perguruan tinggi negeri yang ternama, namun anehnya dia tidak lulus pada Ujian Akhir Nasional (UAN) hanya gara – gara ada salah matepelajaran yang dijadikan standarisasi nasionalnya tidak mencapai 4, dari situlah mulai muncul pertanyaan – pertanyaan, ada apa sebenarnya ini..?. Sejak saat itulah muncul beragam reaksi dari elemen masyarakat bahkan dari siswa itu sendiri, kekecewaan mereka lalu diekspresikan dalam bentuk demonstrasi, turun ke jalan dengan target sasaran DPR dan Istana Presiden untuk mendesak diadakannya ujian ulang bagi yang tidak lulus. Namun mereka belum mendapatkan jawaban solutif yang memuaskan, bahkan pernyataan yang menyakitkan disampaikan oleh Wakil Presiden M. Yusuf Kalla, dalam sebuah acara di Jakarta, “ Kalau dalam sebuah ujian ada yang tidak lulus, kesalahan bukan pada pemerintah akan tetapi pada siswa itu sendiri yang tidak disiplin dalam belajar, lebih lanjut dia katakan UAN tidak bisa diulang”.

Pernyataan yang kurang bijak itu membuat hati masyarakat semakin tambah yakin, bahwa potret dunia pendidikan Indonesia tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Hal ini bisa kita lihat mulai dari Anggara Belanja yang menurut Undang – undang dialokasikan 20%, tapi pada kenyataanya tidaklah demikian. Sampai kepada melepas tanggung jawab pada persoalan UAN kali ini. Bahkan Wakil Presiden M. Yusuf Kalla menyatakan dalam sebuah pertemuan dengan para pemimpin Pers atau media di Kediaman Wapresu,” Pemerintah susah sekali pada dewasa ini memberikan alokasi 20% ntuk pendidikan, hampir tak mungkin”. Padahal bukan pada anggaran yang tersedia, tapi lebih kepada kemuan dan kesungguhan pemerintah dalam mengurusi pendidikan. Kembali pada persoalan Ujian Akhir Nasnional (UAN), pemerintah telah menyalahi aturan undang – undang Guru dan Dosen, dalam Pasal 14 dan Pasal 57 dan 58 UNDANG – UNDANG 20 tahun 2003 yang intinya menyatakan, yang berhak meluluskan peserta didik adalah pendidik atau guru itu sendiri, bukan dinas pendidikan atau pemerintah, sedangkan untuk Ujian Akhir Nasional bukan sebagai penentu kelulusan akan tetapi hanya lebih kepada barometer evaluasi peningkatan mutu pendidikan.Lalu apa jadinya bangsa ini, kalau pemerintah yang membuat undang – undang, kemudian pemerintah juga yang melanggar undang – undang.

Fenomena Ujian Akhir Tahunan ini semakin carut marut setelah belakangan diketahui ada permainan yang dilakukan sejumlah oknum guru dan kepala sekolah, dimana mereka membentuk tim sukses untuk meloloskan para siswanya dari ujian dengan memberikan bocoran soal, dengan harapan selian mendapatkan imbalan amplop yang berisi uang lelah juga untuk menaikan ”gengsi” sekolahnya supaya dikatakan sekolah yang berkualitas. Benar atau tidaknya rumor tersebut masyarakat bisa menilai sendiri secara kasat mata. Jadi, menurut penulis, kurang tepat kalau kemudian Wapres Yusud Kalla menyalahkan para siswa yang tidak lulus dianggap kurang serius dalam belajar, inilah mental pemerintah kita, yang cenderung mencari kambing hitam dan lepas tanggung jawab. Persoalan ini harusnya dikaji oleh pemerintah sendiri, apa yang telah terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia sampai kemudian muncul masalah UAN yang cukup serius dan begitu komplek. Menurut penulis, kesalahan bukanlah pada siswa akan tetapi pemerintah sendiri telah melakukan ketidakkonsistensinya terhadap produk undang – undang yang telah mereka buat. Kedua, ketika melihat suatu persoalan seharusnya pemerintah melihat secara universal (utuh) bukan hanya sebelah mata, apalagi hanya berdasarkan laporan bawahan yang cenderung Asal Bos Senang (ABS). Persoalan Pendidikan Indonesia terutama UAN, jangan dilihat dari hasilnya saja, akan tetapi juga harus dilihat prosesnya, selama ini proses pendidikan yang dilakukan pemerintah tidak maksimal. Kalau memang benar UAN diposisikan sebagai alat ukur mutu pendidikan harusnya juga diikuti dengan proses yang selama ini dilakukan oleh pemerintah itu sendiri, mulai dari sarana prasarana, sistem kurikulum, sistem pengawasan sampai kepada tingkat kesejahteraan para pengajar, tidak seperti sekarang ini pemerintah hanya bisa memvonis,bahwa ketidaklulusan siswa diakibatkan oleh siswa itu sendiri.

Perang statementpun semakin memanas, seorang bintang sinetronpun ikut mengawal para siswa berdemo ke DPR dengan pernyataan yang tidak kalah pedasnya, ” Pemerintah tahu apa tentang siswa, yang lebih tahu adalah para guru dan orang tua siswa jadi pemerintah tidak berhak untuk menentukan lulus tidaknya siswa, dan itu sesuai denga undang – undang yang berlaku” demikian kritik Sopia Latjuba di salah satu TV swasta ketika berdemo ke DPRD. Bahkan sebagian anggota DPRD mengusulkan untuk menolak hasil UAN dan meminta untuk diselenggarakan ujian ulang. Lebih jauh beberapa fraksi seperti Fraksi PK Sejahtera DPRRI membentuk tim Investegasi terkait dengan kecurangan Ujian Akhir Nasional (Republika, Senin, 3 Juli 2006). Tapi, nampaknya pemerintah tidak bergeming dengan protes masyarakat, bahkan mereka berencana akan menaikan standarisasi ujian menjadi 4,7 sampai 5, mereka membandingkan dengan negara tetangga, seperti, Singapura dan Malaysia. Ini kesalahan yang kesekian kalinya yang dilakukan pemerintah, dimana membandingkan Indonesia dengan negara Malaysia, keinginan itu baik, namun pemerintah tidak mengiringi keinginan tersebut dengan keseriusan yang riil. Kalau kita lihat di negara tetangga kenapa SDM nya lebih maju, karena mereka serius memperhatikan pendidikan, lain cerita di pemerintah Indonesia, mereka akan serius memperhatikan persoalan bangsa, manakala persoalan tersebut menyinggung kekuasaannya. Indikasi ini bisa kita lihat dari Anggara Belanja Negara, yang dalam undang – undang diwajibkan mengalokasikan 20% untuk pendidikan tapi pada kenyataanya lain. Anggaran Belanja Negara tahun 2007 Pendidikan hanya dialokasi dana sekitar 42 triliun atau 8,86% (Republika, Senin, 3 juli 2006).

Kasus Ujian Akhir Nasional adalah puncak Es, artinya masih banyak persoalan terkait dengan Dunia Pendidikan di Indonesia. Fakta ini seharusnya menjadikan pemerintah lebih respek untuk mencarikan solusi yang terbaik, bukan mengatasi masalah dengan masalah, seperti alternatif bagi siswa yang tidak lulus untuk mengikuti paket C. Paket C hanya bisa diikuti oleh siswa SMA, lantas nasib siswa SMK bagimana..? , kita belum tahu, belum lagi penyelenggaran paket C yang dari dulu juga terindikasi bermasalah. Logikanya, mengelola pendidikan formal saja pemerintah tidak serius apatah lagi soal penyelenggaraan paket C. Ketidakseriusan inilah yang menyebabkan mutu pendidikan kita tertinggal dengan negara lain. Dalam sebuah penelitian majalah Asia Week terkait dengan mutu pendidikan Indonesia menyatakan, dari 77 universitas multidisipliner ternyata Indonesia yang diwakili oleh Universitas Indonesia (UI) berada pada urutan 61 se Asia. Bahkan Wapres sendiri menyatakan, mutu lulusan pendidikan Indonesia berada pada urutan 120 sedunia.

Kondisi seperti ini seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah, kenapa penulis katakan demikian, karena pemerintahlah yang memiliki kekuasaan untuk mengelola negara ini menjadi lebih baik, jika mereka betul – betul memiliki itikad memajukan bangsa Indonesia. Namun realita dilapangan tidak demikian, sering kali idelisme untuk memajukan dunia pendidikan terkalahkan dengan kepentingan politik dan tergeser dengan ambisi kekuasaan, sehingga nasib pendidikan Indonesia sampai sekarang belum mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Kasus UAN merupakan bagian terkecil yang terlihat oleh kita didalam dunia pendidikan Indonesia. Selain diakibatkan oleh ketidakseriusan pemerintah, fenomena tentang dunia pendidikan kita yang buram ini, juga diakibatkan karena pendidikan sekarang sudah menjadi ladang bisnis oleh sekelompok orang. Kalau kita perhatian disekeliling kita, banyak sekali Institutsi – institusi Pendidikan yang ”OJP” ( ora jelas pisan), statusnya seperti apa dan senderung pengelolaan yang asal –asalan. Banyak masyarakat tertipu dengan tampilan brosur yang memukau dan mengkilap, ditambah dengan rayuan yang berlebihan, seperti gedung milik sendiri, dosen lulusan dan bla..bla....., padahal faktanya tidaklah demikian. Kenapa ini bisa terjadi....? itulah kalau pendidikan sudah menjadi ajang bisnis dan menjadi Industrialisasi, kalau sudah seperti ini, maka pendidikan dikita hanya akan melahirkan para kapitalis – kapitalis baru. Lalu, kembali masyarakat yang menjadi korban akibat kebohongan publik yang dilakukan oknum yang hanya mementingkan keuntungan materi semata – mata.

Bisnis pendidikan ini menjamur seiring dengan dipermudahnya izin mendirikan sebuah sekolah atau perguruan tinggi, yang pada akhirnya mengabaikan kualitas pendidikan itu sendiri. Kondisi ini akan terus berlanjut manakala masyarakat memilih diam dan pasrah. Bisnis pendidikan memang cukup menjanjikan bagi sebagian kalangan, mereka bersembunyi dibalik topeng pendidikan dengan dalih ingin ikut andil dalam menciptakan sumber daya manusia, namun sesungguhnya ada Hidden Agenda (agenda tersembunyi) yaitu Materi atau Uang. Maka dari itu, penulis menghimbau kepada para orang tua yang hendak menyekolahkan anaknya baik itu di Sekolah maupun di Perguruan Tinggi terutama swasta, haruslah hati – hati dan waspada. Bukan berarti, Sekolah atau Perguruan Tinggi Negeri tidak ada kecelakaan, penulis yakin ada oknum yang memanfaatkan masa – masa pendaftaran, seperti menjadi calo pendaftaran, atau bahkan ada sekolah yang kelasnya sudah dipesan oleh orang – orang tertentu.

Coba kita bayangkan, kalau dari proses pendaftarannya saja bermasalah, bagaimana kelulusannya, jelas akan semakin menambah masalah baru. Potret suram dunia pendidikan Indonesia akan berakhir sampai kapan, kita tidak tahu. Tapi, paling tidak kita sebagai masyarakat yang peduli akan masa depan pendidikan generasi muda, jangan pernah kenal lelah untuk terus mengawasi dan mengkritisi tentang dunia pendidikan, mulai dari pengajar sampai kepada Sistem Pendidikan yang diberlakukan oleh Pemerintah, sehingga proses perbaikan akan berjalan terus dan tidak stagnan. Selain itupula, keberanian para guru untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang salah katakan salah itu juga merupakan sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan oleh mereka, karena para gurulah yang terjun dan melihat langsung proses tersebut, terakhir, kita harus terus mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam memperhatikan pendidikan, karena inilah persoalan yang mendasar selain penanganan korupsi. Wallahu’alam

0 Comments:

Post a Comment

<< Home