Saturday, April 07, 2007

Nora, Korban Kebusukan

Usai sekolah , gadis yang memiliki nama lengkap Nora Nurhidayati ini harus bergulat dengan tumpukan sampah yang didatangkan dari pasar dan perumahan di sekitar Kota Serang. Bahkan, ia harus menahan bau busuk yang ditebarkan tumpukan sampah tersebut. Tak jarang ia sering terkena penyakit.Namun, Nora tetap menjalani aktivitas itu karena tidak memiliki pilihan lain. Orang tuanya hanya seorang buruh tani yang penghasilannya hanya Rp 10.000/hari. Sementara pemerintah yang semestinya bertanggung jawab terhadap nasib Nora, hingga kini tidak pernah memberikan bantuan berupa apapun. Bahkan melirik pun sepertinya malu dan jiji karena badannya dipenuhi oleh kotoran sampah.

Padahal, makanan, kendaraan, pakaian, dan sejumlah perhiasan yang menempel ditubuhnya adalah keringat dan kesabaran Nora yang tidak pernah mendoakan pemimpinya untuk diadzab. Meskipun ia bingung, kepada siapa ia mengadu. Nora hanyalah bagian kecil anak negeri ini yang tertindas dan terdzalimi oleh para pemimpin yang tidak pernah meringankan beban kaum dhuafa. Para pejabat tidak malu ketika melintas di depan rumahnya yang reot dan masih terbuat dari bilik. Padahal, dari balik kaca mobil yang sebetulnya aromanya lebih busuk daripada sampah-sampah yang melekat di ditubuh Nora. Sesungguhnya mereka mendengar jeritan dan rintihan dan derain air mata Nora dan sejumlah rekannya di desa tersebut.
Layakkah kita terdiam melihat fakta itu, tega kah hati kita pada saat melintasi di depan rumahnya tanpa menebar senyum, dan beranikah kita untuk membantu mereka tanpa harus menunggu siapapun. Berbuatlah.!!!!

Serpihan Kebenaran Yang Tercecer

Sudah sekitar tujuh bulan, Muetia menjadi seorang wartawan di sebuah harian lokal terbesar di Banten. Selama itu pula, Muetia banyak menemukan serpihan-serpihan kebenaran yang selama ini tercecer bah kulit kacang yang dibuang sembarangan.

Mata Muetia terbelalak saat menatap hasutan, godaan, dan rayuan dari seorang anak manusia yang hatinya sudah teriris oleh pisau godaan . Maklum saja, selama ini ia hanya mendengar fakta itu dari seorang tokoh penyeruak kebenaran yang disampaikan melalui seminar disebuah tempat yang mewah, seperti hotel dan gedung dewan.

Namun, kini ia betul-betul melihat dan merasakan bagaimana kebenaran selalu disembunyikan oleh orang-orang yang sudah tergoda oleh kilauan permata, intan, dan emas yang kerap kali berkelebat menyandangi mata yang seringkali berkedip karena rasa malu saat mendengarkan hati nurani.

Pergumalan itu membuat Muetia semakin sadar bahwa godaan ada dimana-mana, tak terkecuali profesi seorang wartawan bah kilatan cahaya yang terkadang harus berbenturan dengan batang, ranting, bahkan tembok yang kekar yang selalu akan berdiri didepanya saat ia akan meloncat untuk berpihak kepada rakyat yang sudah lama dibodohi.

Fakta itu dijadikan oleh Muetia menjadi tantangan yang akan menjadikan ia manusia yang dewasa dalam artian mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi dalam batin Muetia ada sedikit kekhawatiran, mampukah ia menjadi seorang yang lembut dalam penuturan kata tapi tegas dalam mengungkap kebenaran.

Wednesday, January 03, 2007

Selembut Sutera, Sekuat Baja

Reza M. Syarief dalam karanya yang berjudul Life Exelent menceritakan, beberapa waktu lalu ia melakukan perjalanan dari Jawa Tengah ke Jakarta dengan menggunakan kereta api. Kebetulan ia duduk bersebelahan dengan seorang kakek. Ditengah perjalanan terjadi sebuah obrolan lepas antara Reza dengan si kake tadi.

Maua kemana mas,”? Tanya si kakek
Mau ke Jakarta ke,”jawab Reza.

Beberapa menit kemudian si kake bertanya lagi, Apakah kamu masih punya orang tua,”.

Reza pun menjawab kembali, “masih kek, memang kenapa,?Reza tanya balik.

Si kake pun manggut-manggut, sambil berkata kepada Reza, nak, nanti kalau kamu sampai di rumah, pertama kali yang harus kami lakukan adalah ambil air hangat ke dalam baskom lalu telapan kaki ibumu ke dalam baskom tersebut, dan cucilah kedua telapak kaki ibumu dengan bersih.

Awalnya Reza tidak mengerti apa yang sesungguhnya dikatakan oleh sang kakek, setelah si kake turun lebih awal, Reza masih memikirkan, apa maksud perintah si kakek tadi. Menjelang di stasiun barulah ia menyadari, maksud si kakek adalah, jika kita ingin berhasil, ingin sukses maka kita harus mampu mendekat dan menerjemahkan sebuah kekuatan yang tersembunyi, atau sering disebut Imposible Power.
Dalam diri sosok ibu ada sebuah kekuatan tersembunyi yang luar biasa dahsyatnya. Dan imposible power bukan hanya ada pada diri seorang ibi, namun pada diri kita masing-masing pun ada imposible power yang belum mampu kita keluarkan sehingga akan lebih bermanfaat.

Friday, December 01, 2006

Pernak-pernik Kehidupan

Ike Yeni Riyana, salah seorang teman lama saya waktu SMA sering melontarkan sebuah pernyataan kepada saya setiap ketemu ataupun melalui SMS, atau email. “Karnoto sekarang sudah sukses yah,?. Kata Yeyen, nama akrabnya. Pernyataan itu cukup mengganggu dalam alam bawah sadar saya. Dan biasanya langsung sayang tanggapi dengan kata singkat. “Sukses apanya nih,”tanya saya.

Kemudian ia pun menjawab pertanyaan saya dengan bercerita. “Perasaan dulu kamu waktu sekolah sering bolos deh, tapi sekarang kok kamu jadi kreatif dan melebihi teman-teman yang dulunya terkenal pintar,”terang Yeyen dengan rasa penasarannya.

Akhirnya saya pun menjelaskan tentang konsep pendidikan di Indonesia yang selama cenderung tidak berpihak kepada anak didik. Saya masih ingat betul waktu sekolah. Ketika itu saya mendapatkan ulangan matematika 5,dan saya pun langsung mendapatkan hukuman baik berupa cercaan maupun fisik. Dan dampaknya adalah kalim bahwa saya adalah anak bodoh. Sebetulnya waktu itu hati saya berontak dan ingin menyangkal guru tersebut. Waku itu saya ingin mengatakan,”Pa, memang nilai matematika saya rendah, tapi bukankah saya juga memiliki kecerdasan lain,tolong dong itu juga diperhatikan,”. Itulah kata yang ingin saya sampaikan 7 tahun yang lalu, namun baru bisa saya sampaikan pada guru itu pada tahun 2005 yang lalu.

Itulah sistem pendidikan yang sampai sekarang diterapkan. Bahkan para orang tuapun merasa kecewa ketika anaknya mendapatkan nilai dibawah standar. Padahal sebetulnya semua orang cerdas, hanya saja kecerdasaannya yang berbeda-beda. Ada yang memiliki kecerdasan sosial, kecerdasan logik matematik, kecerdasan language dan kecerdasa lainnya.

Dan saat ini bukan jamannya menilai seorang dari nilai ulangannya saja. Namun harus dilihat dari berbagai sisi.

Kembali lagi pada pernyataan teman saya itu. Itulah kehidupan dengan pernak-perniknya. Terkadang kita sendiri bingung untuk membuat langkah-langkah supaya sukses. Walaupun jujur saja saya belum merasa sukses, sebab ada beberapa hal yang belum saya capai.Saya tidak akan mengulas tentang arti sebuah kesuksesan, namun saya hanya ingin mengatakan bahwa modal kepintaran akademik saja tidaklah cukup akan tetapi harus ditunjang dengan kemampuan yang lain.

Darimanakah Muncul Ide ?

Dalam kehidupan sehari-hari kita disibukan dengan rutinitas yang terkadang sering menjebak kita pada rapuhnya daya pikir dan mrembesnya otak kita dalam kepenatan. Jangankan untuk menyerap ide, mengingat apa yang sudah kita lakukan pun terkadang sering kelupaan. Sisi lain kita masih menanggapi hal itu dengan suatu kewajaran, namun jika hal itu kita biarkan berlarut-larut maka akan mengancam kemampuan kita dalam menelurkan sebuah ide. Kondisi ini harus segera diantisipasi, agar kita tidak menjadi manusia jumud alias primitif.

Apalagi bagi seorang yang mobilitasnya tinggi yang tidak bisa diam ataupun duduk manis di kantor meja atau di rumah tanpa melakukan sesuatu apapun. Tipe orang seperti ini tidak akan betah manakala hidup hanya untuk sebuah rutinitas saja. Hatinya akan berontak, jiwanya terus akan meraung seperti seekor harimau yang sedang lapar yang dihadapkan pada santapan, namun karena ketidakmampuanya untuk mengambil mangsa, ia hanya meraung-raung tanpa bisa berbuat apapun.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan agar ide kita selalu muncul. Secara teoiritis keilmuan saya tidak terlalu menguasi, namun saya coba mengingatkan kepada anda darimanakah ide itu muncul. Saya mulai dari aktivitas kita sejak shalat subuh. Ketika kita melaksanakan shalat, banyak yang melakukan hal itu menjadi aktivitas rutinitas saja, sehingga tidak meresap dalam hati, jiwa, dan pikiran kita. Maka dari itu, munculkan selalu pertanyaan-pertanyaan ketika kita akan melakukan sesuatu termasuk shalat. Kenapa saya harus shalat dan apa manfaat bagi saya, dan jika saya tidak melakukah shalat apa yang akan saya dapatkan. Pertanyaan itu penting agar kita selalu membekas ketika melakukan aktivitas. Bukankah iman itu muncul ketika selalu muncul pertanyaan dalam diri kita. Kalau kita mengerjakan shalat tanpa adanya pertanyaan, ternyata kita baru sampai pada tahap yakin belum dikatakan beriman. Demikian yang diungkapkan oleh Quraish Shihab dalam sebuah acara Tafsir di salah satu stasiun televisi swasta pada bulan Ramadhan yang lalu yang ditayangkan setiap pukul 03.00 WIB.

Jadi intinya adalah selalu munculkan pertanyaan –pertanyaan setiap melihat mendengar dan melakukan sesuatu. Masih ingatkan kita, ketika kita masih kecil, kita suka sekali melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada diri kita, bapak, ibu, kakak, dan adik sekalipun.

Kebiasaan itulah yang mulai hilang setelah kita merasa dewasa. Padahal kebiasaan itu sangatlah penting. Tanamkan karakter wartawan pada dirikita yang selalu ingin mencari tahu.

Setelah kita sudah membiasakan diri dengan pertanyaan, selanjutnya adalah jangan selalu merasa puas dengan apa yang sudah kita lakukan. Kalau sikap cepat puas kita pelihara maka hal itu akan membius jiwa kita kedalam kubangan kebodohan. Sikap cepat puas akan melahirkan karakter manusia yang kurang kreatif dan cepat nrimo. Tentunya ketidapuasan yang saya maksud adalah ketidapuasan yang didasarkan pada basic kelimuan yang tidak liar sehingga tetap berpedoman pada tuntunan illahi.

Jika kedua kebiasaan itu bisa kita terapkan maka kita akan menjadi manusia yang kaya akan ide. Tinggal langkah selanjutnya adalah bagaimana meralasisasikan ide yang sudah ada. Nanti kita bicarakan pada episode berikutnya. Selama mencoba

Friday, November 17, 2006

Wapres Hadiri Haul Syeikh Nawawi

Ribuan warga yang memadati lokasi acara haul Syeikh Nawawi AlBantani yang ke 113 tampak terlihat di sepanjang jalan menuju ke panggung utama. Tampak pula ratusan aparat keamanan berjaga-jaga di pinggir jalan, bahkan pengamanan sudah terlihat sejak dari pintu tol Serang Timur. Keramaian itu menimbulkan kemacetan di sekitar lokasi. Kemacetan bertambah dengan banyaknya para pedagang yang mengais rezeki dengan memanfaatkan momen yang diadakan setahun sekali itu.


KARNOTO-TANARA

Warga yang berkunjung ke tanah kelahiran ulama terkemuka, Syeik Nawawi AlBantani ini bukan saja ingin memperingati acara haul, namun juga ingin melihat secara langsung Wapres Jusuf Kalla. Pada haul kali ini, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla berkenan menghadiri acara tersebut untuk memberikan sambutan. Menjelang sore warga semakin bertambah, namun tidak membuat warga mengurungkan niatnya untuk menghadiri acara haul hingga selesai.
Setelah berjam –jam menunggu, tepat pukul 18.10 WIB Wapres Jusuf Kalla beserta rombongan tiba di halaman depan Yayasan An-Nawawi. Lokasi inilah yang dijadikan acara haul. Wapres yang mengenakan kemeja putih dengan peci hitam didampingin oleh istrinya langsung mendapatkan keamanan ketak. Turut hadir pula mendampingi beberapa pejabat penting, diantaranya, Menteri Agama M. Basuni, Wakil Ketua MPR RI, Plt. Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah,Kapolda Banten, Bupati Serang, Taufik Nuriman, Bupati Pandegalang, Dimyati Natakusumah. Selain itu hadir pula dari Ma’ruf Amin, pewakilan MUI Pusat sekaligus Ketua Pelaksana haul.
Sebelum menaiki panggung utama Wapres beserta rombongan terlebih dahulu makan malam di rumah salah seorang keturunan Syeikh Nawawi. Sayangnya wartawan tidak bisa mengambil photo ketika Wapres sedang dijamu karena tidak diperkenankan oleh Paspampres. “Stop, jangan lebih dari pintu ini pa,”kata salah seorang Paspampres kepada wartawan. Sekitar 19.00 WIB Wapres mulai berjalan untuk naik ke atas panggung utama setelah ia menunaikan shalat Maghrib berjamaah.
Setelah Wapres dan rombongan sudah duduka dikursi yang telah disiapkan sejak dari pagi, acara pun dimulai. Acara dimulai dengan sambutan Ketua Pelaksana Haul Syeikh Nawawi AlBantani, Ma’ruf Amin. Dalam sambutannya, Ma’ruf hanya menyampaikan dua hal yang selama ini menjadi impiannya. Impian tersebut adalah, pertama, ingin menjadikan Tanara ini menjadi tempat yang mencetak para ulama, dan kedua Ia ingin menjadikan tempat tersebut sebagai tempat berhimpunnya para ulama. “Kalau toh tidak sehebat Syeikh Nawawi, tapi paling tidak kita bisa mendekat kehebatan Syeikh Nawawi,”ujar Ma’ruf, ketua pelaksan sekaligus pengurus MUI Pusat. Ulama berkacamat ini, juga mengatakan, Syeikh Nawawi telah melahirkan ulama dan tokoh agama besar, khususnya di Indonesia. Salah satu muridnya adalah, KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur.
Sementara itu Plt.Gubernur, Ratu Atut Chosiyah dalam sambutannnya hanya mengatakan ucapan terima kasih kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla yang telah hadir pada acara haul. “Kami atas nama Plt.Gubernur Banten dan masyarakat Banten bersyukur karena Wapres telah datang ke tempat kami,”kata Atut, yang mengenakan pakaian dinasnya.
Sedangkan Wakil Presiden jusuf Kallah hanya memberikan sambutan selama 15 menit. Dengan mengenakan Kemeja putih dan celana hitam, ia pun mulai mendekat podium untuk memberikan sambutan. Seketika itu juga hadirin langsung berdiri untuk melihat lebih jelas wajah orang nomor dua di Rebuplik ini. Namun sayangnya hadirin terpaksa tertahan dengan pagar betis yang telah dibuat oleh protokoler. Dalam sambutannya yang singkat itu, Kalla hanya menegaskan kepada para hadirin yang hadir, agar haul ini hendaknya dijadikan sebagai spirit baru bagi masyarakat agar terus belajar dengan sungguh-sungguh serta kerjakeras supaya tempat ini mampu melahirkan Syeikh-syeikh yang baru. “Jika ada ulama yang mengajar di Indonesia itu biasa, namun jika ada ulama yang menjadi guru di Mekkah itu baru luar biasa,”kata Kalla dengan suara lantangnya.

Saturday, November 04, 2006

Peran Sahabat Kita


Sekitar empat tahun yang lalu saya menghadiri sebuah acara pengajian yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di kampus saya. Awalnya saya tidak begitu mengistimewakan dan juga tidak merendahkan, jadi biasa-biasa saja. Namun menjelang penutupan, ada pernyataan dari narasumber yang sempat mengendap dalam alam pikiran saya, dan pernyataan itu hingga sekarang masih teringat dan sering saya ucapkan juga ketika saya berbicara dengan orang lain.
Narasumber menyatakan, bahwa kalau kita ingin melihat bagaimana kita, lihat saja teman-teman disekitar kita. ”Jika temannya soleh, setidaknya kita juga dicap soleh oleh orang lain, tapi sebaliknya, jika teman kita pemalas, suka menyakiti orang lain, maka kita pun tidak jauh berbeda dengan teman kita,”katanya mengakhiri pembicaraanya. Sederhana memang kata-kata itu, namun cukup mengena dan ternyata pernyataan itu sudah saya buktikan kebenarannya di lapangan berulang-ulang kali.
Sejak saat itu saya mulai berpikir dan mencoba untuk merenungi pernyataan sang pemateri. Dan sejak saat itu pula saya menjadi seorang yang suka mengamati beberapa kawanku yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Bahkan tidak jarang saya sering mengunjungi rumah yang saya jadikan sasaran untuk meneliti latar belakang karakter yang dimiliki oleh temanku. Makanya jarang heran kalau aku hobi banget untuk berkunjung dari rumah ke rumah. Disamping mengamalkan sunnah juga untuk mengetahui lebih jauh lingkungan yang telah membentuk karakter teman-teman saya itu.
Kegiatan semacam itu masih saya lakukan hingga sekarang, karena menurut saya, cara seperti ini lebih nyaman dan memuaskan karena kita bisa melihat dengan sendiri dibalik karakter teman saya itu. Perlu sedikit saya ceritakan keragaman karakter dan yang melatarbelakangi karakternya. Sebab, masa lalu seseorang ketika kecil akan membentuk karakter seseorang ketika menjadi dewasa. Jika masa kecil seseorang hidup dalam lingkungan yang tidak bersahabat, kasar, keras, egois, dan suka berbicara dengan fisik, maka seseorang itu akan menjadi manusia seperti ia kecil.
Namun sebaliknya, jika masa kecil seseorang hidup dalam lingkungan yang baik, penuh tanggung jawab, kasih sayang, lemah lembut, dan penuh kehangatan, maka seseorang itu akan menjadi manusia yang penyayang pula ketika dewasa. Disinilah mulai muncul pertanyaan, bukankah banyak seseorang yang tadinya tidak baik peranginya, namun setelah dewasa seseorang itu menjadi baik atau sebaliknya, orang yang tadinya baik dan lurus, namun setelah dewasa ia memiliki perilaku yang kurang baik, bahkan kasar dan suka menyakiti hati orang atau mungkin sampai dalam bentuk fisik.
Disinilah peran lingkungan dalam membentuk karakter seseorang, kita tidak bisa mengelak soal ini dan agaknya semua sepakat dengan hal ini. Namun persoalannya bukan masalah sepakat atau tidak sepakat, akan tetapi bagaimana kita mendapatkan dan membuat lingkungan yang baik untuk tempat kita bersemayam. Dan harus diingat untuk mencapai kearah sana membutuhkan waktu dan kerja keras, pantang menyerah serta kesabaran. Karena ternyata kesabaran itu bukan kita pakai ketika kita mendapatkan musibah, akan tetapi menjadi orang baik pun membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Banyak yang tidak sabar menjadi orang baik hingga akhirnya kembali lagi ke karakter sebelumnya.
Kembali kepada persoalan peran sahabat dalam membentuk karakter kita. Sedikit meloncat ke depan, bahwasanya, siapapun itu orangnya tentulah ingin menjadi manusia yang berharga dan dihargai. Namun untuk menuju kesana banyak manusia yang tidak betah dan akhirnya menyerah. Sulit memang untuk mencari sahabat yang betul-betul bisa membawa kita menjadi lebih baik, secara teoritis mungkin mudah karena tinggal kita baca , namun fakta di lapangan sulitnya bukan main. Dan yang lebih sulit lagi adalah mempertahankan dan merawat kerpibadian baik kita.
Namun juga bukan berarti hal itu dibisa kita lakukan dan temukan, persoalanya adalah sejauh mana kemauan kita untuk melakukan hal itu. Artinya bukan hanay keinginan saja, namun mesti dilakukan dengan sungguh-sungguh tanpa kenal lelah. Mungkin ada yang bertanya lagi, sampai kapan kita akan melakukan upaya pencarian. Yang jelas, selama nyawa kita masih dikerongkongan, selama itu pula kita harus terus melakukannya.

Friday, November 03, 2006

Liburan Di Pantai Bagedur

Beberapa hari yang lalu, tepatnya Sabtu (28/10) saya dan dua rekan saya mengunjungi sebuah kawasan pantai di daerah Banten Selatan, tepatnya di Pantai Bagedur, Malingping Kabupaten Lebak. Kami berangkat dari Serang, karena kami menggunakan kendaraan pribadi, maka, perjalanan yang semestinya ditempuh empat hingga lima jam, namun bisa kami pangkas sehingga hanya sekitar tiga jam perjalanan.

Untuk menuju ke tempat ini, kita bisa menggunakan beberapa jalur, pertama kita bisa melalui jalan utama Pandeglang-Saketi. Namun jika kita ingin melewati jalur yang sepi, kita bisa menggunakan jalan pedesaan melewati Desa Petir. Perjalanan menuju ke tempat ini cukup berliku, sehingga kami sarankan bagi anda yang ingin berkunjung kesana harus hati-hati, terutama saat musim hujan. Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi, kami bertiga menikmati pemandangan di dataran tinggi, selain itu kami pun menikmati dinginya udara.

Setelah menempuh perjalanan cukup lumayan, kami bertiga pun sampai ke lokasi yang kami tuju. “Wah banyak sekali pengunjungnya,”kata Fitron, salah satu temanku yang ikut rombongan. Hari itu memang terlihat ramai sekali, maklum hari itu masih liburan lebaran. Umumnya mereka adalah pengunjung lokal.

Tampak pula beberapa polisi air sedang mengawasi para pengunjung, sembari basa-basi saya pun menghampiri salah satu polisi. Wau rupanya dia komandan di situ. Meskipun dia enggan menyebutkan nama, namun kami sempat berdialog sekitar 15 menit.

Selain soal keamanan yang terjamin, karean patroli polisi, namun tetap saja keselamatan ada pada diri si pengunjung. “Kami kan terbatas, jumlah dan mata kami terbatas, jadi 80 persen keamandan tetap ada pada pengunjung,”ungkapnya dengan nada tegas.

Nah selain keamanan, kita juga tidak perlu khawatir soal makanan, insya allah makanan di sini masih relative murah, meskipun agak mahalan dikit jika kita beli di pasar. Di sini enaknya kita membawa tikar dan makanan sendiri. Sebab di tempat ini ada sebuah tempat di dataran tinggi yang dikelilingi pohon kelapa, jadi lebih santai. Akhirnya saya ucapakan selamat menikmati liburan di pantai Bagedur di Malingping Kabupaten Lebak, Banten.

Sunday, October 15, 2006

Kemenangan Yang Terusik

Keceriaan Antinah, ibu beranak lima ini terpaksa harus tertahan di sela-sela ia melaksanakan ibadah puasa. Pasalnya ia harus mengalihkan perhatiannya kepada pintu gerbang Idul Fitri untuk mengikuti tradisi kebanyakan orang yang menggunakan pakaian baru, buat kue supaya tidak dikatakan ”ingkar” terhadap tradisi.

Hati Antinah memberontak, kenapa kekhusyuan ibadah kita harus terganggu hanya gara-gara tradisi yang Rasul sendiri tidak pernah menganjurkannya. Namun pemberontakan itu hanya mampu ia tahan dalam dadanya sebagai benteng pertahanan terakhir. Hatinya bergemuruh, darah pun mendadak mengalir begitu derasnya ketika setiap ia bertemu dengan tetangga ataupun rekan seprofesinya mengatakan, sudah membeli apa untuk lebaran atau sudah biki kue belum.

”Saya selalu katakan kepada mereka, apakah lebaran identik dengan serba baru.” tutur Antinah dengan nada sedikit kesal. Namun pemberontakannya porak-poranda ketika kelima anaknya meminta untuk dibelikan pakain baru akibat hasutan sang pemburu serba baru.

Ia pasrah dan harus rela merogoh koceknya.”Untuk lebaran tahun ini saya sudah menghitung dan dalam perhituangannya menghabiskan dana sebesar Rp 2.000.000 untuk lima anak plus kue,” kata wanita yang sehari-harinya menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Antinah masih beruntung karena sang suami masih bekerja sebagai pegawai negeri sipil.

Lain halnya dengan yang diceritakan Bowo Suparno, penjual baso di kawasan Terminal Pakupatan. Ia mengaku sering dibuat pusing setiap menjelang lebaran, pasalnya ia harus mempersiapkan dana untuk persiapan mudik.”Kalau sekedar mudik sih tidak ada masalah,”ujar pria berkulit sawo matang ini kepada Radar Banten, Sabtu (114/10). Selain ongkos mudik Bowo harus menyiapkan uang untuk oleh-oleh saudaranya yang tinggal di kampung halaman. Sebab sudah menjadi kebiasaan pula bahwasanya setiap orang di daerahnya yang merantau dan sudah mampu membuat rumah cukup istimewa dalam pandangan masyarakat perkampungan, maka orang tersebut dianggap telah sukses merantau.

Persepsi itu yang menurut Bowo sendiri terlalu berlebihan dan ia mengaku tidak suka dengan perlakuan itu. Makanya setiap ia pulang kampung ia tidak pernah menggunakan mobilnya untuk mudik. Namun ia juga tidak bisa menolak dengan budaya itu, sebab mau tidak mau ia harus pulang untuk sungkem ke orang tua dan silaturahim kepada sanak saudara.”Kalau bukan karena orang tua, mungkin saya tidak pulang,” tutur Bowo, pria yang sudah mulai tumbuh uban.

Setiap tahunnya ia mengeluarkan uang hingga Rp 3.000.000 khusus untuk momen lebaran.”Sekarang bisa jadi membengkak seiring dengan bertambahnya jumlah saudara,”kata suami Pritani ini. Ia pun tidak bisa menghindar dari ”paksaan” tersebut. Sebetulnya ia merasa senang dengan momen lebaran karena bisa berkumpul dengan saudara yang selama ini terpisah. Namun disisi lain ia tidak suka dengan budaya konsumtif yang seolah sudah jadi karakter bangsa.

Sementara itu beberapa agen penjualan tiket mengaku ada peningkatan permintaan konsumen. Arif misalnya, pengelola jasa penjualan tiket Optima menuturkan. Sejak beberapa hari yang lalu, permintaan tiket naik hingga 100 persen. Masih menurut Arif, umumnya para konsumen sudah memesan tiket jauh-jauh hari sebelum lebaran, alasannya supaya lebih nyaman, karena arus mudik masih sedikit.