Saturday, November 04, 2006

Peran Sahabat Kita


Sekitar empat tahun yang lalu saya menghadiri sebuah acara pengajian yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di kampus saya. Awalnya saya tidak begitu mengistimewakan dan juga tidak merendahkan, jadi biasa-biasa saja. Namun menjelang penutupan, ada pernyataan dari narasumber yang sempat mengendap dalam alam pikiran saya, dan pernyataan itu hingga sekarang masih teringat dan sering saya ucapkan juga ketika saya berbicara dengan orang lain.
Narasumber menyatakan, bahwa kalau kita ingin melihat bagaimana kita, lihat saja teman-teman disekitar kita. ”Jika temannya soleh, setidaknya kita juga dicap soleh oleh orang lain, tapi sebaliknya, jika teman kita pemalas, suka menyakiti orang lain, maka kita pun tidak jauh berbeda dengan teman kita,”katanya mengakhiri pembicaraanya. Sederhana memang kata-kata itu, namun cukup mengena dan ternyata pernyataan itu sudah saya buktikan kebenarannya di lapangan berulang-ulang kali.
Sejak saat itu saya mulai berpikir dan mencoba untuk merenungi pernyataan sang pemateri. Dan sejak saat itu pula saya menjadi seorang yang suka mengamati beberapa kawanku yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Bahkan tidak jarang saya sering mengunjungi rumah yang saya jadikan sasaran untuk meneliti latar belakang karakter yang dimiliki oleh temanku. Makanya jarang heran kalau aku hobi banget untuk berkunjung dari rumah ke rumah. Disamping mengamalkan sunnah juga untuk mengetahui lebih jauh lingkungan yang telah membentuk karakter teman-teman saya itu.
Kegiatan semacam itu masih saya lakukan hingga sekarang, karena menurut saya, cara seperti ini lebih nyaman dan memuaskan karena kita bisa melihat dengan sendiri dibalik karakter teman saya itu. Perlu sedikit saya ceritakan keragaman karakter dan yang melatarbelakangi karakternya. Sebab, masa lalu seseorang ketika kecil akan membentuk karakter seseorang ketika menjadi dewasa. Jika masa kecil seseorang hidup dalam lingkungan yang tidak bersahabat, kasar, keras, egois, dan suka berbicara dengan fisik, maka seseorang itu akan menjadi manusia seperti ia kecil.
Namun sebaliknya, jika masa kecil seseorang hidup dalam lingkungan yang baik, penuh tanggung jawab, kasih sayang, lemah lembut, dan penuh kehangatan, maka seseorang itu akan menjadi manusia yang penyayang pula ketika dewasa. Disinilah mulai muncul pertanyaan, bukankah banyak seseorang yang tadinya tidak baik peranginya, namun setelah dewasa seseorang itu menjadi baik atau sebaliknya, orang yang tadinya baik dan lurus, namun setelah dewasa ia memiliki perilaku yang kurang baik, bahkan kasar dan suka menyakiti hati orang atau mungkin sampai dalam bentuk fisik.
Disinilah peran lingkungan dalam membentuk karakter seseorang, kita tidak bisa mengelak soal ini dan agaknya semua sepakat dengan hal ini. Namun persoalannya bukan masalah sepakat atau tidak sepakat, akan tetapi bagaimana kita mendapatkan dan membuat lingkungan yang baik untuk tempat kita bersemayam. Dan harus diingat untuk mencapai kearah sana membutuhkan waktu dan kerja keras, pantang menyerah serta kesabaran. Karena ternyata kesabaran itu bukan kita pakai ketika kita mendapatkan musibah, akan tetapi menjadi orang baik pun membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Banyak yang tidak sabar menjadi orang baik hingga akhirnya kembali lagi ke karakter sebelumnya.
Kembali kepada persoalan peran sahabat dalam membentuk karakter kita. Sedikit meloncat ke depan, bahwasanya, siapapun itu orangnya tentulah ingin menjadi manusia yang berharga dan dihargai. Namun untuk menuju kesana banyak manusia yang tidak betah dan akhirnya menyerah. Sulit memang untuk mencari sahabat yang betul-betul bisa membawa kita menjadi lebih baik, secara teoritis mungkin mudah karena tinggal kita baca , namun fakta di lapangan sulitnya bukan main. Dan yang lebih sulit lagi adalah mempertahankan dan merawat kerpibadian baik kita.
Namun juga bukan berarti hal itu dibisa kita lakukan dan temukan, persoalanya adalah sejauh mana kemauan kita untuk melakukan hal itu. Artinya bukan hanay keinginan saja, namun mesti dilakukan dengan sungguh-sungguh tanpa kenal lelah. Mungkin ada yang bertanya lagi, sampai kapan kita akan melakukan upaya pencarian. Yang jelas, selama nyawa kita masih dikerongkongan, selama itu pula kita harus terus melakukannya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home