Friday, July 14, 2006

JADI WARTAWAN, SIAPA TAKUT

Sejak arah perpolitikan di negeri ini berubah 180 derajat, yang diawali dengan lahirnnya gerakan reformasi dengan lokomotif para mahasiswa, sejak itu pula posisi mediapun berubah dan secara otomatis gerak dan langkah para kuli tintapun mengikuti perubahan tersebut. Kalau kita menengok sejarah kebelakang dimasa kepemimpinan Soeharto profesi wartawan boleh dibilang posisi yang cukup beresiko terutama bagi para wartawan yang memegang teguh kode etik wartawan dan idealismenya, karena harus sering berbenturan dengan tirani penguasa yang sesukanya tanpa mengindahkan kondisi masyarakatnya.

Kebebasan dan independensi wartawan ketika itu cukup sulit dan sangat terbatas ruang untuk mengekspresikan temuan – temuan yang mereka lihat di lapangan, terutama persoalan kekuasan yang menyangkut korupsi atau penyelewengan, padahal masyarakat harus menuntut wartawan untuk memberikan informasi tersebut, namun disisi lain wartawan dibatasi dinding penguasa yang kalau dipaksakan maka wartawan tersebut akan terpental bahkan kemungkinan roboh dan berdarah – darah akibat benturan yang tidak seimbang antara seorang diri dengan penguasa yang tidak segan – segan menggunakan cara kekerasan baik itu penculikan maupun pembunuhan.

Era Reformasi yang kini dihadapan kita cukup memberikan rasa optimisme karena para wartawan kini bisa bernafas lega untuk mengekspresikan profesinya sebagai wartawan dengan tetap memperhatikan kode etik wartawan.

Wartawan kini bisa berteriak keras dan lantang dalam menyuarakan kebenaran. Dayungpun bersambut, masyarakat turut merespon dan memberikan dukungan yang beragam. Gegap gempitanya media dan wartawan sebagai ujung tombak berita menandakan dunia sudah berubah, dimana kran demokrasi yang selama berpuluh – puluh tahun tersumbat oleh limbah penguasa kini terbuka bahkan mengalir sangat deras sekali, maklum saking lamanya jadi ada yang sampai ”kelupaan”.

Tidak mudah memang untuk menjadi seorang wartawan, disamping butuh teoritis tentang dunia kewartawanan juga dibutuhkan kelincahan kita dalam mencari berita terutama yang menyangkut perkara – perkara hukum, mungkin inilah salah satu faktor kenapa penulis bersedia untuk mengikuti pendidikan wartawan di Radar Institute. Menurutku dunia wartawan profesi yang penuh tantangan dan kita dituntut untuk kreatif dan jeli dalam proses pencarian berita bahkan sampai informasi tersebut menjadi sebuah berita yang nantinya akan dinikmati oleh banyak orang.

Selain tantangan kreatifitas seorang wartawan juga ditantang sejauh mana idealisme dan konsistensinya dalam menjalankan kode etik sebagai wartawan, idealisme ini erat kaitannya dengan soal “uang”, Sering kita temukan wartawan yang “melacurkan” diri dan menjual harga dirinya sebagai wartawan hanya demi uang. Padahal dalam salah satu kode etik wartawan adalah wartawan Indonesia dilarang menerima suap, sebab kalau seorang pekerja “kuli tinta” ini sudah berani menerima sogokan maka akan berdampak pada berita yang dipublish, berita akan timpang dan subyektif dan jelas ini sangat merugikan masyarakat dan membuat stigma profesi wartawan, kalau sudah seperti ini maka akuntabilitas media yang mempekerjakan wartawan tersebut juga akan tercoreng dan bahkan bisa dibawa keproses hukum.

Berlakunya undang – undang Pers No.40 tahun 1999, dimana surat ijin tidak lagi diperlukan lagi, hal ini berdampak pada munculnya media – media yang “OJP” (ora jelas pisan) dan wartawannyapun wartawan “bodrex”. Fakat ini menyebabkan media dan wartawan tidak mengindahkan unsur profesionalisme dan lagi – lagi masyarakat dirugikan untuk yang kesekian kalinya. Penelusuran detikcom terhadap kehadiran wartawan bodrek, mutaber, WTS maupun wartawan pemeras keberadaannya cukup mengkawatirkan. Mereka menghadiri berbagai acara-cara yang menyediakan uang. Seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), lounching produk, dan konperensi pers lainnya. Para wartawan bodrex ini selalu memburu berbagai acara, untuk mendapatkan "delapan enam", kode lain untuk mendapatkan uang amplop.

Bagi sebagian orang profesi wartawan bukan dijadikan ladang penghidupan akan tetapi lebih kepada hobi. Hobi mengamati fenomena sosial politik yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, dengan harapan orang lain bisa mendapatkan informasi tersebut, yang bisa jadi informasi itu cukup berarti dan ditunggu – tunggu oleh mereka, padahal mungkin menurut kita biasa – biasa saja. Mungkin itulah salah satu alasan penulis ingin mengikuti pelatihan wartawan ini. Intinya penulis berharap masyarakat harus tahu apa yang sebetulnya telah terjadi disekitar lingkungan tempat mereka hidup, terutama yang menyangkut hajat hidup mereka, seperti kebijakan pemerintah yang mereka jarang atau bahkan tidak pernah tahu dinamika yang terjadi sesungguhnya terjadi dalam urusan kepemerintahan apatah lagi yang menyangkut uang, padahal mereka (baca:rakyat) berhak tahu dan berhak menikmat karena sesungguhnya itu adalah uang rakyat juga.

Selain memberikan informasi soal kebijakan masyarakat juga perlu tahu persoalan – persoalan lain, seperti perkembangan teknologi, peristiwa kriminal siraman ruhiyah dan informasi – informasi lainya yang mampu mencerahkan masyarakat. Sehingga masyarakat akan semakin cerdas dan diharapkan juga mampu menangkap dan mengkritisi fenomena tersebut.

Networking atau jaringan itu juga menjadi salah daya tarik kenapa penulis ingin menjadi wartawan, jaringan ini akan menambah wawasan dan khazanah kelimuan kita, karena ketika kita meliput secara otomatis kita harus berinteraksi dengan nara sumber, disana kita bisa ngobrol banyak yang berkaitan dengan tema. Naluri ingin mendapatkan rekan banyak merupakan kodrat manusia karena memang manusia adalah Zoon Politican demikian ungkapan salah satu ilmuwan tekemuka.

Inti dari tugas wartawan sebetulnya adalah mencari berita dan menuliskanya menjadi sebuah berita untuk orang lain, sehingga orang lain jadi tahu informasi terkini. Disamping menulis untuk orang lain sekaligus menulis sebagai ujud untuk mengekspresikan diri sendiri., dalam artian mempertaruhkan diri dengan tulisannya.

Tulisan ini sebagai salah satu syarat untuk mengikuti training wartawan di Radar Institute

PROBLEMATIKA REMAJA

Masa remaja adalah masa transisi, dimana pada masa – masa seperti ini sering terjadi ketidakstabilan baik itu emosi maupun kejiwaan. Pada masa transisi ini juga remaja sedang mencari jati diri sebagai seorang remaja. Walaupun saat ini masih terdapat beragam interpretasi tentang definisi remaja, seperti definisi menurut BKKBN bahwa seseorang dikatakan remaja yaitu antara usia 14-20 tahun,.
namun setidaknya kita dapat melihat standarisasi seseorang dikatakan remaja, diantaranya ditandai dengan perkembangan, baik fisik, psikologis, dan sosial. Perkembangan secara fisik ditandai dengan makin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi. Secara sosial perkembangan ini ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan dengan orang tuanya, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas luar dengan jalan interaksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan sebaya maupun masyarakat luas. Pada masa ini pula, ketertarikan dengan lawan jenis juga mulai muncul dan berkembang. Rasa ketertarikan pada remaja lalu dimunculkan dalam bentuk (misalnya) berpacaran di antara mereka. Berpacaran berarti upaya untuk mencari seorang teman dekat dan di dalamnya terdapat hubungan mengkomunikasikan kepada pasangan, membangun kedekatan emosi, dan proses pendewasaan kepribadian. Kemudian berpacaran biasanya dimulai dengan membuat janji, datang lalu bikin komitment tertentu dan bila di antara remaja ada kecocokan, maka akan dilanjutkan dengan berpacaran

Disinilah mulai muncul problematika yang dihadapi remaja, diantaranya soal jati diri remaja itu sendiri. Proses pencarian inilah yang terkadang dimanfaatkan oleh para kapitalisme dengan menyajikan tontonan atau budaya yang bukan membantu remaja dalam upaya menemukan jati diri remaja akan tetapi justru malah sebaliknya, mereka para kaum kapitalis menjerumuskan remaja kedalam hal negatif karena orientasi mereka adalah keuntungan materi. Fakta ini bisa dilihat dari berbagai penelitian, disana banyak sekali temuan – temuan yang membuat kita semua cukup prihatin. Seperti yang akan penulis kutip dari hasil penelitian beberapa lembaga terkait soal remaja.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Baseline Survei Lentera-Sahaja PKBI Yogyakarta memperlihatkan, perilaku seksual remaja mencakup kegiatan mulai dari berpegangan tangan, barpelukan, berciuman, necking, petting, hubungan seksual, sampai dengan hubungan seksual dengan banyak orang. Dari berbagai penelitian menunjukkan, perilaku seksual pada remaja ini mempunyai korelasi dengan sikap remaja terhadap seksualitas. Penelitian Sahabat Remaja tentang perilaku seksual di empat kota menunjukkan, 3,6 persen remaja di Kota Medan; 8,5 persen remaja di Kota Yogyakarta, 3,4 persen remaja di Kota Surabaya, serta 31,1 persen remaja di Kota Kupang telah terlibat hubungan seks secara aktif. Penelitian yang pernah dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan UGM menemukan, 33,5 responden laki-laki di Kota Bali pernah berhubungan seks, sedangkan di desa Bali sebanyak 123,6 persen laki-laki. Di Yogyakarta kota sebanyak 15,5 persen sedangkan di desa sebanyak 0,5 persen.

Cukup mengaggetkan memang, tapi itulah fakta yang ada. Itu baru penelitian di daerah yang selama ini kenal kota pelajar yang notebene secara akal harusnya lebih terkendali tapi justru malah sebaliknya. Selain itu, perkembangan zaman juga akan mempengaruhi perilaku seksual dalam berpacaran para remaja.. Hal ini, misalnya, dapat dilihat bahwa hal-hal yang-ditabukan remaja pada beberapa tahun lalu seperti berciuman dan bercumbu, kini sudah dibenarkan remaja. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan free . Perubahan terhadap nilai ini, misalnya, terjadi dengan pandangan remaja terhadap hubungan seks sebelum menikah. Dua puluh tahun lalu hanya 1,2 persen, 9,6 persen setuju hubungan seks sebelum menikah. Sepuluh-tahun kemudian angka itu naik menjadi di atas 10 persen. Lima tahun kemudian angka ini naik menjadi 17 persen setuju. Bahkan ada remaja sebanyak 12,2 persen yang setuju free .

Sementara itu kasus-kasus kehamilan yang tidak dikehendaki sebagai akibat perilaku seksual di kalangan remaja juga mulai meningkat dari tahun ke tahun. Meski sulit diketahui pasti, di Indonesia angka kehamilan sebelum menikah, tetapi dari berbagai penelitian tentang perilaku seksual remaja, menyatakan tentang besarnya angka kehamilan remaja. Catatan konseling remaja menunjukkan, kasus kehamilan yang tidak dikehendaki pada tahun 1998/1999 tercatat sebesar 113 kasus. Beberapa hal ini menarik berkaitan dengan catatan itu misalnya hubungan seks pertama kali biasanya dilakukan dengan pacar (71 persen), teman biasa (3,5 persen), suami (3,5 persen); inisiatif hubungan seks dengan pasangan (39,8 persen), klien (9,7 persen), keduanya (11,5 persen); keputusan melakukan hubungan seks: tidak direncanakan (45 persen), direncanakan (20,4 persen) dan tempat yang biasa digunakan untuk melakukan hubungan seks adalah rumah (25,7 persen) hotel (13,3 persen). Konsekuensi dari kehamilan remaja ini adalah pernikahan remaja dan pengguguran kandungan. Hasil penelitian PKBI beberapa waktu lalu menunjukkan, di Medan, Jakarta Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan Manado, angka kehamilan sebelum nikah pada remaja dan yang mencari pertolongan untuk digugurkan meningkat dari tahun ke tahun. Sebuah perkiraan yang dibuat sebuah harian menunjukkan, setiap tahun satu juta perempuan Indonesia melakukan pengguguran besarnya angka kehamilan remaja. dan 50 persen berstatus belum menikah serta 10-15 persen di antaranya remaja. Upaya pendampingan dari orangtua dan lembaga yang peduli kepada remaja adalah sebuah hal yang mesti dilakukan, dan tentu saja pendampingan yang bersahabat, dan berpihak kepada remaja itu sendiri.

Itu baru kita lihat dari sisi problematika biologisnya, belum lagi soal kebimbangan menentukan arah hidup remaja itu sendiri. Setidaknya data dan fakta di atas menjadi bahan perenungan kita bersama, bahwa ternyata persoalan remaja ini tidak bisa dianggap enteng, tapi harus mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, para orang tua dan lembaga yang peduli akan remaja. Belum lagi kalau kita bicara soal remaja yang terkena Narkoba, seperti data yang penulis ambil dari Badan Narkotika Nasional, pada tahun 1999 – 2003 jumlah tersangka kasus narkoba yang berusia 16 – 19 tahun mencapai 2.186 kasus, usia 21 – 24 mencapai 6.845 kasus. Lalu bagaimana dengan remaja Banten...? itulah yang akan menjadi kajian kami di Lembaga Swadaya Masyarakat BeST Institut sebagai sebuah lembaga yang peduli akan masa depan remaja di Banten dan Indonesia pada umumnya.

Berbagai macam latar dan alasan yang sering diungkapkan oleh para remaja kenapa mereka terjerumus kedalam free dan narkoba atau tindakan negatif lainnya, adalah Broken Home, pergaulan dan pengaruh media. Ketiga faktor itulah yang n menjadi alasan mereka. Disinilah pentingnya para orang tua untuk menciptakan nuansa keluarga yang penuh kasih sayang dan penuh perhatian kepada anak – anak mereka, sering banyak ditemukan orang tua yang menganggap bahwa anak – anak mereka adalah hasil cipta mereka atau milik mereka, sehingga mereka berhak untuk memperlakukan si anak sesuka hatinya, ini pandangan yang keliru. Anak adalah amanah dari Tuhan yang harus kita bertanggung jawabkan kepada sang pemilik yaitu Allah SWT, dan anak juga memiliki hak. Inilah yang menyebabkan si anak menjadi korban dari para orang tua yang tidak bertanggung jawab.

Faktor pergaulan ini juga sangat rentan, sebagaimana perubahan remaja, bahwa ketika seorang anak sudah menginjak usia remaja, maka waktunya akan lebih banyak digunakan untuk berinteraksi dengan orang luar. Kalau kita rentet sirkulasi kehidupan remaja dalam kesehariannya. Katakanlah mereka bangun tidur jam 4 pagi, selesai bangun shalat dan belajar, jam 6.30 mereka sudah berangkat ke sekolah, selesai sekolah jam 2 siang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan eskul belum lagi kalau mengikuti kursus. Berapa jam waktu mereka untuk kumpul dengan keluarga..? sangat terbatas bukan. Pergaulan ini tidak akan biasa saja manakala mereka menemukan komunitas pergaulan yang dapat menunjang pengembangan diri mereka kehal yang positif, namun akan berbahaya tatkala mereka menemukan komunitas hura – hura dan tongkrongan yang negatif. Efeknya adalah pada prestasi mereka dan pola hidup yang mereka jalani.Bahkan Marisa Haque pernah mengatakan dalam acara dialog di salah satu TV Swasta, bahwa pengaruh lingkungan itu 70% mempengaruhi kepribadian dan tingkah laku seseorang. Luar biasa memang pengaruh lingkungan, maka dari itu sudah semestinya kita harus mampu mengontrol dan memberikan arahan kepada para remaja untuk memilih lingkungan yang baik dan dapat menunjang prestasinya.

Media juga memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk karakter masyarakat kita, terutama kalangan remaja yang masih ”plin plan” dalam kepribadian. Tayangan TV yang hedonis, individualis dan materialis telah sedemikian kuatnya masuk kedalam kepribadian remaja kita, sehingga sering kita temukan remaja kita yang mengikuti dari idola mereka yang mereka lihat di TV, baik itu melalui film sinteron, iklan ataupun tayang tv lainnya yang menurut mereka cocok dengan mereka. Ini tidak akan menjadi sebuah persoalan manakala yang menjadi idola mereka adalah orang – orang yang memang layak untuk dijadikan idola, tapi fkata di lapangan tidaklah demikian, karena biasanya yang dijadikan idolah mereka adalah pada bentuk fisik, seperti cantik, ganteng, maco dan lain sebagainya, bukan kepada sikap dan kepribadiannya. Ini juga menjadi masalah serius remaja kita, artinya kalau kemudian tayangan tv yang negatif menjadi karakter para remaja kita, maka kita tinggal menunggu masa depan bangsa ini diambang kehancuran terutama pada sisi moralitasnya, dan ini berbahaya untuk keberlangsungan kemajuan bangsa Indonesia.

Melihat data dan fakta di atas setidaknya ada beberapa hal yang mesti kita lakukan baik itu para orang tua, pemerintah dan lembaga yang peduli akan nasib remaja kita. Pertama, Hendaknya kita senantiasa melindungi mereka dengan cara memberikan perhatian yang tulus dan ikhlas tanpa harus bersikap keras dan kasar. Diharapkan dari perlindungan seperti ini mereka akan merasa tidak sendiri akan tetapi justru mereka akan merasa ada tempat curhat mereka yaitu diri kita, diri kita yang penulis maksud adalah para orang tua dan segenap keluarga, baik kakak, adik dan lain sebaginya ataupun insititusi, dan ini sangat bermanfaat terutama dalam membentuk kepribadian remaja.

Kedua, berikan pembekalan spiritual untuk mereka melalui kegiatan – kegiatan keagamaan yang metode dan polanya tidak membosankan, kenapa penulis katakan demikian, karena ternyata remaja lebih suka sesuatu yang sifatnya bersenang – senang, nah disini kita para juru spiritual dituntut untuk kreatif dalam mengemas acara – acara keagamaan sehingga para remaja tidak merasa digurui dan tidak boring. Hal ini akan menimbulkan kesukaan remaja untuk konsisten mengikuti acara tersebut, dari pembekalan nilai spiritual inilah mereka akan menjadi remaja yang memiliki imun atau kekebalan dalam menghadapi pengaruh – pengaruh yang negatif. Akhirnya penulis mengajak kepada seluruh elemen untuk perhatian pada persoalan remaja sehingga masa depan mereka dan masa depan bangsa Indonesia akan lebih baik, amin. Wallahu alam.

Tulisan ini adalah bahan pembuatan buku tentang remaja & pernah dimuat di Harian Fajar Banten, Edisi Kamis,15 Juni 2006

UAN & INDUSTRIALISASI PENDIDIKAN

Tahun 2006 kali ini dunia pendidikan Indonesia diramaikan dengan adanya masalah Ujian Akhir Nasional (UAN), mulai dari proses penyelenggaran sampai kepada tahap akhir atau finishing. Pada tahap akhir inilah yang menuai pro kontra, dimana banyak terjadi keanehan – keanehan dalam soal kelulusan siswa, seperti ada seorang siswa yang dia memiliki prestasi bahkan diterima di perguruan tinggi negeri yang ternama, namun anehnya dia tidak lulus pada Ujian Akhir Nasional (UAN) hanya gara – gara ada salah matepelajaran yang dijadikan standarisasi nasionalnya tidak mencapai 4, dari situlah mulai muncul pertanyaan – pertanyaan, ada apa sebenarnya ini..?. Sejak saat itulah muncul beragam reaksi dari elemen masyarakat bahkan dari siswa itu sendiri, kekecewaan mereka lalu diekspresikan dalam bentuk demonstrasi, turun ke jalan dengan target sasaran DPR dan Istana Presiden untuk mendesak diadakannya ujian ulang bagi yang tidak lulus. Namun mereka belum mendapatkan jawaban solutif yang memuaskan, bahkan pernyataan yang menyakitkan disampaikan oleh Wakil Presiden M. Yusuf Kalla, dalam sebuah acara di Jakarta, “ Kalau dalam sebuah ujian ada yang tidak lulus, kesalahan bukan pada pemerintah akan tetapi pada siswa itu sendiri yang tidak disiplin dalam belajar, lebih lanjut dia katakan UAN tidak bisa diulang”.

Pernyataan yang kurang bijak itu membuat hati masyarakat semakin tambah yakin, bahwa potret dunia pendidikan Indonesia tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Hal ini bisa kita lihat mulai dari Anggara Belanja yang menurut Undang – undang dialokasikan 20%, tapi pada kenyataanya tidaklah demikian. Sampai kepada melepas tanggung jawab pada persoalan UAN kali ini. Bahkan Wakil Presiden M. Yusuf Kalla menyatakan dalam sebuah pertemuan dengan para pemimpin Pers atau media di Kediaman Wapresu,” Pemerintah susah sekali pada dewasa ini memberikan alokasi 20% ntuk pendidikan, hampir tak mungkin”. Padahal bukan pada anggaran yang tersedia, tapi lebih kepada kemuan dan kesungguhan pemerintah dalam mengurusi pendidikan. Kembali pada persoalan Ujian Akhir Nasnional (UAN), pemerintah telah menyalahi aturan undang – undang Guru dan Dosen, dalam Pasal 14 dan Pasal 57 dan 58 UNDANG – UNDANG 20 tahun 2003 yang intinya menyatakan, yang berhak meluluskan peserta didik adalah pendidik atau guru itu sendiri, bukan dinas pendidikan atau pemerintah, sedangkan untuk Ujian Akhir Nasional bukan sebagai penentu kelulusan akan tetapi hanya lebih kepada barometer evaluasi peningkatan mutu pendidikan.Lalu apa jadinya bangsa ini, kalau pemerintah yang membuat undang – undang, kemudian pemerintah juga yang melanggar undang – undang.

Fenomena Ujian Akhir Tahunan ini semakin carut marut setelah belakangan diketahui ada permainan yang dilakukan sejumlah oknum guru dan kepala sekolah, dimana mereka membentuk tim sukses untuk meloloskan para siswanya dari ujian dengan memberikan bocoran soal, dengan harapan selian mendapatkan imbalan amplop yang berisi uang lelah juga untuk menaikan ”gengsi” sekolahnya supaya dikatakan sekolah yang berkualitas. Benar atau tidaknya rumor tersebut masyarakat bisa menilai sendiri secara kasat mata. Jadi, menurut penulis, kurang tepat kalau kemudian Wapres Yusud Kalla menyalahkan para siswa yang tidak lulus dianggap kurang serius dalam belajar, inilah mental pemerintah kita, yang cenderung mencari kambing hitam dan lepas tanggung jawab. Persoalan ini harusnya dikaji oleh pemerintah sendiri, apa yang telah terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia sampai kemudian muncul masalah UAN yang cukup serius dan begitu komplek. Menurut penulis, kesalahan bukanlah pada siswa akan tetapi pemerintah sendiri telah melakukan ketidakkonsistensinya terhadap produk undang – undang yang telah mereka buat. Kedua, ketika melihat suatu persoalan seharusnya pemerintah melihat secara universal (utuh) bukan hanya sebelah mata, apalagi hanya berdasarkan laporan bawahan yang cenderung Asal Bos Senang (ABS). Persoalan Pendidikan Indonesia terutama UAN, jangan dilihat dari hasilnya saja, akan tetapi juga harus dilihat prosesnya, selama ini proses pendidikan yang dilakukan pemerintah tidak maksimal. Kalau memang benar UAN diposisikan sebagai alat ukur mutu pendidikan harusnya juga diikuti dengan proses yang selama ini dilakukan oleh pemerintah itu sendiri, mulai dari sarana prasarana, sistem kurikulum, sistem pengawasan sampai kepada tingkat kesejahteraan para pengajar, tidak seperti sekarang ini pemerintah hanya bisa memvonis,bahwa ketidaklulusan siswa diakibatkan oleh siswa itu sendiri.

Perang statementpun semakin memanas, seorang bintang sinetronpun ikut mengawal para siswa berdemo ke DPR dengan pernyataan yang tidak kalah pedasnya, ” Pemerintah tahu apa tentang siswa, yang lebih tahu adalah para guru dan orang tua siswa jadi pemerintah tidak berhak untuk menentukan lulus tidaknya siswa, dan itu sesuai denga undang – undang yang berlaku” demikian kritik Sopia Latjuba di salah satu TV swasta ketika berdemo ke DPRD. Bahkan sebagian anggota DPRD mengusulkan untuk menolak hasil UAN dan meminta untuk diselenggarakan ujian ulang. Lebih jauh beberapa fraksi seperti Fraksi PK Sejahtera DPRRI membentuk tim Investegasi terkait dengan kecurangan Ujian Akhir Nasional (Republika, Senin, 3 Juli 2006). Tapi, nampaknya pemerintah tidak bergeming dengan protes masyarakat, bahkan mereka berencana akan menaikan standarisasi ujian menjadi 4,7 sampai 5, mereka membandingkan dengan negara tetangga, seperti, Singapura dan Malaysia. Ini kesalahan yang kesekian kalinya yang dilakukan pemerintah, dimana membandingkan Indonesia dengan negara Malaysia, keinginan itu baik, namun pemerintah tidak mengiringi keinginan tersebut dengan keseriusan yang riil. Kalau kita lihat di negara tetangga kenapa SDM nya lebih maju, karena mereka serius memperhatikan pendidikan, lain cerita di pemerintah Indonesia, mereka akan serius memperhatikan persoalan bangsa, manakala persoalan tersebut menyinggung kekuasaannya. Indikasi ini bisa kita lihat dari Anggara Belanja Negara, yang dalam undang – undang diwajibkan mengalokasikan 20% untuk pendidikan tapi pada kenyataanya lain. Anggaran Belanja Negara tahun 2007 Pendidikan hanya dialokasi dana sekitar 42 triliun atau 8,86% (Republika, Senin, 3 juli 2006).

Kasus Ujian Akhir Nasional adalah puncak Es, artinya masih banyak persoalan terkait dengan Dunia Pendidikan di Indonesia. Fakta ini seharusnya menjadikan pemerintah lebih respek untuk mencarikan solusi yang terbaik, bukan mengatasi masalah dengan masalah, seperti alternatif bagi siswa yang tidak lulus untuk mengikuti paket C. Paket C hanya bisa diikuti oleh siswa SMA, lantas nasib siswa SMK bagimana..? , kita belum tahu, belum lagi penyelenggaran paket C yang dari dulu juga terindikasi bermasalah. Logikanya, mengelola pendidikan formal saja pemerintah tidak serius apatah lagi soal penyelenggaraan paket C. Ketidakseriusan inilah yang menyebabkan mutu pendidikan kita tertinggal dengan negara lain. Dalam sebuah penelitian majalah Asia Week terkait dengan mutu pendidikan Indonesia menyatakan, dari 77 universitas multidisipliner ternyata Indonesia yang diwakili oleh Universitas Indonesia (UI) berada pada urutan 61 se Asia. Bahkan Wapres sendiri menyatakan, mutu lulusan pendidikan Indonesia berada pada urutan 120 sedunia.

Kondisi seperti ini seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah, kenapa penulis katakan demikian, karena pemerintahlah yang memiliki kekuasaan untuk mengelola negara ini menjadi lebih baik, jika mereka betul – betul memiliki itikad memajukan bangsa Indonesia. Namun realita dilapangan tidak demikian, sering kali idelisme untuk memajukan dunia pendidikan terkalahkan dengan kepentingan politik dan tergeser dengan ambisi kekuasaan, sehingga nasib pendidikan Indonesia sampai sekarang belum mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Kasus UAN merupakan bagian terkecil yang terlihat oleh kita didalam dunia pendidikan Indonesia. Selain diakibatkan oleh ketidakseriusan pemerintah, fenomena tentang dunia pendidikan kita yang buram ini, juga diakibatkan karena pendidikan sekarang sudah menjadi ladang bisnis oleh sekelompok orang. Kalau kita perhatian disekeliling kita, banyak sekali Institutsi – institusi Pendidikan yang ”OJP” ( ora jelas pisan), statusnya seperti apa dan senderung pengelolaan yang asal –asalan. Banyak masyarakat tertipu dengan tampilan brosur yang memukau dan mengkilap, ditambah dengan rayuan yang berlebihan, seperti gedung milik sendiri, dosen lulusan dan bla..bla....., padahal faktanya tidaklah demikian. Kenapa ini bisa terjadi....? itulah kalau pendidikan sudah menjadi ajang bisnis dan menjadi Industrialisasi, kalau sudah seperti ini, maka pendidikan dikita hanya akan melahirkan para kapitalis – kapitalis baru. Lalu, kembali masyarakat yang menjadi korban akibat kebohongan publik yang dilakukan oknum yang hanya mementingkan keuntungan materi semata – mata.

Bisnis pendidikan ini menjamur seiring dengan dipermudahnya izin mendirikan sebuah sekolah atau perguruan tinggi, yang pada akhirnya mengabaikan kualitas pendidikan itu sendiri. Kondisi ini akan terus berlanjut manakala masyarakat memilih diam dan pasrah. Bisnis pendidikan memang cukup menjanjikan bagi sebagian kalangan, mereka bersembunyi dibalik topeng pendidikan dengan dalih ingin ikut andil dalam menciptakan sumber daya manusia, namun sesungguhnya ada Hidden Agenda (agenda tersembunyi) yaitu Materi atau Uang. Maka dari itu, penulis menghimbau kepada para orang tua yang hendak menyekolahkan anaknya baik itu di Sekolah maupun di Perguruan Tinggi terutama swasta, haruslah hati – hati dan waspada. Bukan berarti, Sekolah atau Perguruan Tinggi Negeri tidak ada kecelakaan, penulis yakin ada oknum yang memanfaatkan masa – masa pendaftaran, seperti menjadi calo pendaftaran, atau bahkan ada sekolah yang kelasnya sudah dipesan oleh orang – orang tertentu.

Coba kita bayangkan, kalau dari proses pendaftarannya saja bermasalah, bagaimana kelulusannya, jelas akan semakin menambah masalah baru. Potret suram dunia pendidikan Indonesia akan berakhir sampai kapan, kita tidak tahu. Tapi, paling tidak kita sebagai masyarakat yang peduli akan masa depan pendidikan generasi muda, jangan pernah kenal lelah untuk terus mengawasi dan mengkritisi tentang dunia pendidikan, mulai dari pengajar sampai kepada Sistem Pendidikan yang diberlakukan oleh Pemerintah, sehingga proses perbaikan akan berjalan terus dan tidak stagnan. Selain itupula, keberanian para guru untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang salah katakan salah itu juga merupakan sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan oleh mereka, karena para gurulah yang terjun dan melihat langsung proses tersebut, terakhir, kita harus terus mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam memperhatikan pendidikan, karena inilah persoalan yang mendasar selain penanganan korupsi. Wallahu’alam

QUO VADIS REMAJA

Generasi masa depan dalam terminologi Ilmu Psikologi Perkembangan Jiwa dikenal dengan istilah Remaja. Masa Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak – anak dan masa masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun (satumedia.com). Pada masa peralihan inilah, generasi muda (baca: remaja) sering terjebak pada impian semu. Kalau kita perhatikan bersama tentang fenomena remaja, maka disana akan kita temukan beberapa kasus yang sifatnya ”latah”, ini terjadi karena karakter remaja itu sendiri yang cenderung ingin meniru dari apa – apa yang dia lihat dan dia dengar, karena memang mereka sedang mencari jatidiri, siapa diri mereka yang sebenarnya. Proses pencarian jatidiri inilah yang membuat mereka menjadi berani dan mau tampil ”beda” dengan masyarakat pada umumnya.

Problematika Remaja

Persoalan Jatidiri menjadi problem utama oleh para remaja, karena berangkat dari jatidiri inilah remaja akan dapat memilih dan memfilter apa – apa yang dia dapatkan dari luar dirinya, baik itu dalam bentuk Audio maupun Visual. Umumnya remaja akan menerima begitu saja terhadap informasi dan pengaruh dari luar, tanpa mereka memikirkan baik dan buruknya terhadap diri mereka sendiri.Unsur Hedonis atau a hidup bersenang – senang lebih mendominasi pada kejiwaannya. Kondisi ini diperparah dengan adanya campur tangan pihak yang memang sengaja ingin menghancurkan bangsa ini melalui moral para generasi muda. Mereka dengan sengaja menanamkan budaya negatif pada remaja, sehingga lambat laun budaya tersebut melekat dan mendarah daging pada jiwanya. Dampak dari tidak menemukannya jatidiri oleh para remaja adalah mereka akan muda termasuki oleh ”mahluk asing” yang hanya akan menjerumuskan remaja itu sendiri.

Kasus demi kasus yang melibatkan remaja kian hari kian bertambah, seperti beberapa bulan lalu, kita dihebohkan dengan berita seorang siswa melakukan free di Cianjur, begitu juga kasus pelecehan seksual yang terjadi di Kota Cilegon, dan banyak kasus serupa yang tidak lain tersangkanya adalah mereka yang notebene masih berusia remaja. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh ”Sahabat Anak Remaja (SAHARA) Indonesia Foundation ” menghasilkan sedikitnya 38.288 remaja di Kabupaten Bandung diduga pernah berhubungan intim diluar nikahatau melakukan hubungan seks bebas. Di Kota Yogya juga digegerkan hasil penelitian seks pranikah suatu lembaga, bahwa dinyatakan 97,05 % mahasiswi dari 1.660 responden telah melakukan hubungan seks diluar nikah. (Suara Merdeka, 2 Agustu 2002). Kemudian penelitian Pusat Penelitian Kependudukan, UGM para remaja berumur 14 – 24 tahun di Manado, mengungkapkan laki – laki 151 orang dan 146 orang perempuan terbukti 26,6% melakukan seks bebas. (Sekuntum Mawar untuk remaja, Jefri). Data – data ini akan terus bertambah manakala tidak dilakukan upaya – upaya penanggulangan secara kontinue. Dampak dari problematika seks bebas ini adalah hancurnya moralitas generasi muda.

Dari problem Seks bebas yang marak terjadi pada remaja, problem berikutnya adalah masalah Narkoba. Sampai detik ini kasus narkoba selalu mewarnai dalam berita kriminal, baik di media cetak maupun eletronik, dan jumlah kasus bukannya menurun tapi sebaliknya justru meningkat. Sebut saja, Data tahun 1999 – 2003 dari Badan Narkotika Nasional (BNN) jumlah tersangka Narkoba yang berusia 16 – 19 tahun berjumlah 2.186 tersangka, usia 21 – 24 tahun berjumlah 6.845 tersangka, usia 25 – 29 tahun berjumlah 5.673 tersangka. Sindikat jaringan Narkoba ini semakin berani dan merajalela, apatah lagi di Provinsi Banten, dimana memiliki Bandara Soekarno Hatta dan Pelabuhan Merak, dua tempat tersebut adalah jalur lalu lalang internasioanl dan ini menjadi tempat straegis bagi mereka. Dampak dari problematika kasus narkoba adalah merosotnya prestasi sekolah, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh DR.Dr Dadang Hawari tahun 1990, menyatakan akibat dari Narkoba dan sejenisnya prestasi sekolah menurun hingga 96%, sementara itu 93% hubungan keluarga memburuk, 65,3% perkelahian & tindak kekerasan serta 58,7% kecelakaan lalu lintas.

Dunia hiburan dan fashion tidak mau turut ketinggalan dalam mengambil hati para remaja, akhirnya merekapun membuat berbagai tayangan yang mengarah kepada dekadensi moral remaja. Munculah tayangan yang hanya menggambarkan sosok pelajar yang berpacaran, memakai kendaraan mewah dan terkadang juga masih ditambahi dengan adegan yang mengarah kepada birahi, adegan itupun belum dirasa cukup maka ditambah dalam sinteron tersebut kekerasan fisik. Jarang kita temukan di dalam film – filam di layar televisi yang menampilkan sosok pelajar yang penuh dedikasi tinggi untuk belajar dan memiliki moral yang baik, selalu yang ditampilkan sisi – sisi negatifnya saja, ini berdampak sangat buruk terhadap perekembangan psikologi remaja. Fenomena percintaan dan kekerasan di televisi seringkalai menjadi bahan referensi remaja dalam aktivitas kesehariannya. Fakta di lapangan, ketika remaja telah menyaksikan sebuah tayangan televisi yang menggambarkan sebuah budaya atau kehidupan remaja, apalagi diperankan oleh artis yang terkenal, maka seketika itu juga dalam benak fikirannya melayang – layang ingin menjadi seperti apa yang dia tonton. Rambut kepang 8, rok sampai atas dengkul, baju ketat dan a – a primitif lainnya kini gampang kita temui di sekolah ataupun di kampus – kampus.

Fakta – fakta di atas hendaknya menjadi bahan perenungan kita, sejauhmana peran kita dalam upaya menyelamatkan generasi muda. Setidaknya ada beberapa peran yang bisa kita lakukan dalam konteks problematika yang remaja hadapi. Pertama, memberikan alternatif kegiatan khusus untuk para remaja, upaya penting supaya mereka tidak sampai melampiaskan hasratnya kepada hal – hal yang negatif. Kegiatan tersebut bisa berupa kegiatan tulis menulis seperti yang dilakukan oleh rumah dunia, ataupun kegiatan outbound yang kini sudah semakin fariatif. Kegiatan alternatif ini penting dilakukan oleh siapapun baik itu pemerintah, masyarakat ataupun LSM yang peduli akan perbaikan generasi muda. Kedua, Upaya selanjutnya adalah pendampinga atau istilah ngetrennya adalah Mentoring berkelanjutan. Upaya kedua ini terbukti mampu meredam problematika remaja yang mengarah kepada perilaku negatif, seperti tawuran dan tongkrongan yang tidak bermanfaat. Di Jakarta misalnya, semenjak ada edaran yang mewajibkan setiap siswa harus mengikuti mentoring, maka sejak itu, berita soal tawuran sekolah di Jakarta tidak kita temukan lagi. Pembinaan dan Pendampingan yang kontinue inilah yang mampu meminimalisir perilaku negatif remaja.

Selain tindakan preventif di atas, pemerintah juga semestinya membuat aturan – aturan yang mempersempit gerak dan langkah para kapitalis yang hanya mementingkan materiil saja. Kenapa aturan ini penting, sebab sebagaimana tradisi di negara kita, bahwa sesuatu yang salah tapi legal, maka sesuatu itu akan dianggap benar, begitu juga sebaliknya, sesuatu yang benar, namun tidak legal maka akan dianggap salah. (Anis Matta,Lc). Intinya, baik itu pemerintah maupun masyarakat harus bekerjasama dengan baik, sehingga upaya yang kita inginkan yaitu, terselamtannya generasi muda dari perilaku negatif dapat segera teratasi.