Sunday, October 15, 2006

Kemenangan Yang Terusik

Keceriaan Antinah, ibu beranak lima ini terpaksa harus tertahan di sela-sela ia melaksanakan ibadah puasa. Pasalnya ia harus mengalihkan perhatiannya kepada pintu gerbang Idul Fitri untuk mengikuti tradisi kebanyakan orang yang menggunakan pakaian baru, buat kue supaya tidak dikatakan ”ingkar” terhadap tradisi.

Hati Antinah memberontak, kenapa kekhusyuan ibadah kita harus terganggu hanya gara-gara tradisi yang Rasul sendiri tidak pernah menganjurkannya. Namun pemberontakan itu hanya mampu ia tahan dalam dadanya sebagai benteng pertahanan terakhir. Hatinya bergemuruh, darah pun mendadak mengalir begitu derasnya ketika setiap ia bertemu dengan tetangga ataupun rekan seprofesinya mengatakan, sudah membeli apa untuk lebaran atau sudah biki kue belum.

”Saya selalu katakan kepada mereka, apakah lebaran identik dengan serba baru.” tutur Antinah dengan nada sedikit kesal. Namun pemberontakannya porak-poranda ketika kelima anaknya meminta untuk dibelikan pakain baru akibat hasutan sang pemburu serba baru.

Ia pasrah dan harus rela merogoh koceknya.”Untuk lebaran tahun ini saya sudah menghitung dan dalam perhituangannya menghabiskan dana sebesar Rp 2.000.000 untuk lima anak plus kue,” kata wanita yang sehari-harinya menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Antinah masih beruntung karena sang suami masih bekerja sebagai pegawai negeri sipil.

Lain halnya dengan yang diceritakan Bowo Suparno, penjual baso di kawasan Terminal Pakupatan. Ia mengaku sering dibuat pusing setiap menjelang lebaran, pasalnya ia harus mempersiapkan dana untuk persiapan mudik.”Kalau sekedar mudik sih tidak ada masalah,”ujar pria berkulit sawo matang ini kepada Radar Banten, Sabtu (114/10). Selain ongkos mudik Bowo harus menyiapkan uang untuk oleh-oleh saudaranya yang tinggal di kampung halaman. Sebab sudah menjadi kebiasaan pula bahwasanya setiap orang di daerahnya yang merantau dan sudah mampu membuat rumah cukup istimewa dalam pandangan masyarakat perkampungan, maka orang tersebut dianggap telah sukses merantau.

Persepsi itu yang menurut Bowo sendiri terlalu berlebihan dan ia mengaku tidak suka dengan perlakuan itu. Makanya setiap ia pulang kampung ia tidak pernah menggunakan mobilnya untuk mudik. Namun ia juga tidak bisa menolak dengan budaya itu, sebab mau tidak mau ia harus pulang untuk sungkem ke orang tua dan silaturahim kepada sanak saudara.”Kalau bukan karena orang tua, mungkin saya tidak pulang,” tutur Bowo, pria yang sudah mulai tumbuh uban.

Setiap tahunnya ia mengeluarkan uang hingga Rp 3.000.000 khusus untuk momen lebaran.”Sekarang bisa jadi membengkak seiring dengan bertambahnya jumlah saudara,”kata suami Pritani ini. Ia pun tidak bisa menghindar dari ”paksaan” tersebut. Sebetulnya ia merasa senang dengan momen lebaran karena bisa berkumpul dengan saudara yang selama ini terpisah. Namun disisi lain ia tidak suka dengan budaya konsumtif yang seolah sudah jadi karakter bangsa.

Sementara itu beberapa agen penjualan tiket mengaku ada peningkatan permintaan konsumen. Arif misalnya, pengelola jasa penjualan tiket Optima menuturkan. Sejak beberapa hari yang lalu, permintaan tiket naik hingga 100 persen. Masih menurut Arif, umumnya para konsumen sudah memesan tiket jauh-jauh hari sebelum lebaran, alasannya supaya lebih nyaman, karena arus mudik masih sedikit.