Saturday, April 07, 2007

Nora, Korban Kebusukan

Usai sekolah , gadis yang memiliki nama lengkap Nora Nurhidayati ini harus bergulat dengan tumpukan sampah yang didatangkan dari pasar dan perumahan di sekitar Kota Serang. Bahkan, ia harus menahan bau busuk yang ditebarkan tumpukan sampah tersebut. Tak jarang ia sering terkena penyakit.Namun, Nora tetap menjalani aktivitas itu karena tidak memiliki pilihan lain. Orang tuanya hanya seorang buruh tani yang penghasilannya hanya Rp 10.000/hari. Sementara pemerintah yang semestinya bertanggung jawab terhadap nasib Nora, hingga kini tidak pernah memberikan bantuan berupa apapun. Bahkan melirik pun sepertinya malu dan jiji karena badannya dipenuhi oleh kotoran sampah.

Padahal, makanan, kendaraan, pakaian, dan sejumlah perhiasan yang menempel ditubuhnya adalah keringat dan kesabaran Nora yang tidak pernah mendoakan pemimpinya untuk diadzab. Meskipun ia bingung, kepada siapa ia mengadu. Nora hanyalah bagian kecil anak negeri ini yang tertindas dan terdzalimi oleh para pemimpin yang tidak pernah meringankan beban kaum dhuafa. Para pejabat tidak malu ketika melintas di depan rumahnya yang reot dan masih terbuat dari bilik. Padahal, dari balik kaca mobil yang sebetulnya aromanya lebih busuk daripada sampah-sampah yang melekat di ditubuh Nora. Sesungguhnya mereka mendengar jeritan dan rintihan dan derain air mata Nora dan sejumlah rekannya di desa tersebut.
Layakkah kita terdiam melihat fakta itu, tega kah hati kita pada saat melintasi di depan rumahnya tanpa menebar senyum, dan beranikah kita untuk membantu mereka tanpa harus menunggu siapapun. Berbuatlah.!!!!

Serpihan Kebenaran Yang Tercecer

Sudah sekitar tujuh bulan, Muetia menjadi seorang wartawan di sebuah harian lokal terbesar di Banten. Selama itu pula, Muetia banyak menemukan serpihan-serpihan kebenaran yang selama ini tercecer bah kulit kacang yang dibuang sembarangan.

Mata Muetia terbelalak saat menatap hasutan, godaan, dan rayuan dari seorang anak manusia yang hatinya sudah teriris oleh pisau godaan . Maklum saja, selama ini ia hanya mendengar fakta itu dari seorang tokoh penyeruak kebenaran yang disampaikan melalui seminar disebuah tempat yang mewah, seperti hotel dan gedung dewan.

Namun, kini ia betul-betul melihat dan merasakan bagaimana kebenaran selalu disembunyikan oleh orang-orang yang sudah tergoda oleh kilauan permata, intan, dan emas yang kerap kali berkelebat menyandangi mata yang seringkali berkedip karena rasa malu saat mendengarkan hati nurani.

Pergumalan itu membuat Muetia semakin sadar bahwa godaan ada dimana-mana, tak terkecuali profesi seorang wartawan bah kilatan cahaya yang terkadang harus berbenturan dengan batang, ranting, bahkan tembok yang kekar yang selalu akan berdiri didepanya saat ia akan meloncat untuk berpihak kepada rakyat yang sudah lama dibodohi.

Fakta itu dijadikan oleh Muetia menjadi tantangan yang akan menjadikan ia manusia yang dewasa dalam artian mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi dalam batin Muetia ada sedikit kekhawatiran, mampukah ia menjadi seorang yang lembut dalam penuturan kata tapi tegas dalam mengungkap kebenaran.